Bab I Ketentuan
Umum
Bab II Ruang
Lingkup Berlakunya Undang-undang
Bab III Dasar
Peradilan
Bab IV Penyidik
dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik
Bab IV Penyidik
dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu
Bab IV Penyidik
dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Umum
Bab V
Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan
Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan
Bab V
Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan
Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan
Bab V
Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan
Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan
Bab V
Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan
Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan
Bab V
Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan
Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat
Bab VI Tersangka
dan Terdakwa
Bab VII Bantuan
Hukum
Bab VIII Berita
Acara
Bab IX Sumpah
atau Janji
Bab X Wewenang
Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu : Praperadilan
Bab X Wewenang
Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadilan Negeri
Bab X Wewenang
Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadilan Tinggi
Bab X Wewenang
Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung Bab XI Koneksitas
Bab XII Ganti
Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian
Bab XII Ganti Kerugian
dan Rehabilitasi Bagian Kedua : Rehabilitasi
Bab XIII
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Bab XIV Penyidikan Bagian Kesatu :
Penyelidikan
Bab XIV
Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
Bab XV Penuntutan
Bab XVI
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan Bab XVI
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua : Memutus Sengketa Mengenai
Wewenang Mengadili
Bab XVI
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga : Acara Pemeriksaan Biasa Bab
XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat : Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima : Acara Pemeriksaan Biasa Bab
XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan
Bab XVII Upaya
Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding
Bab XVII Upaya
Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk Kasasi
Bab XVIII Upaya
Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan
Hukum
Bab XVIII Upaya
Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang
Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
Bab XIX
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XX Pengawasan
Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XXI Ketentuan
Peralihan
Bab XXII
Ketentuan Penutup
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1.Penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
2.Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
3.Penyidik
pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi
wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
undang-undang ini.
4.Penyelidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5.Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6.a. Jaksa adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
b.Penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7.Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.
8.Hakim adalah
pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili.
9.Mengadili
adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
10.Praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, tentang: a.sah atau tidaknya suatu penangkapan
dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka; b.sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
11.Putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
12.Upaya hukum
adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
13.Penasihat
hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan
undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14.Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
15.Terdakwa
adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.
16.Penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan.
17. Penggeledahan
rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat
tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan
atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
18.Penggeledahan
badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau
pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawanya serta, untuk disita.
19.Tertangkap
tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana,
atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau
sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya,
atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
20.Penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
21.Penahanan
adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
22.Ganti kerugian
adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
23.Rehabilitasi
adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan
atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
24.Laporan adalah
pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
25.Pengaduan
adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
26.Saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat
sendiri dan ia alami sendiri.
27.Keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
28.Keterangan
ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan.
29. Keterangan
anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
30.Keluarga
adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau
hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
31.Satu hari
adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh hari.
32.Terpidana
adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG
Pasal 2
Undang-undang ini
berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum
pada semua tingkat peradilan.
BAB III DASAR PERADILAN
Pasal 3
Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
BAB IV PENYIDIK DAN PENUNTUT
UMUM
Bagian Kesatu Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah
setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Pasal 5
(1) Penyelidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima
laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari
keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. atas perintah
penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 2. pemeriksaan dan
penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 4. membawa dan
menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik
membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
Pasal 6
(1) Penyidik
adalah:
a. pejabat polisi
negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat
kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pasal 7
(1) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
a. menerima
Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang
tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan
dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai
dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam
melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pasal 8
(1) Penyidik
membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan
berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap
pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; b. dalam hal penyidikan
sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti kepada penuntut umum.
Pasal 9
Penyelidik dan
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai wewenang
melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan
ketentuan undang-undang.
BAB IV PENYIDIK DAN PENUNTUT
UMUM
Bagian Kedua Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik
pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh
Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan
dalam ayat (2) pasal ini.
(2) Syarat
kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 11
Penyidik pembantu
mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai
penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal 12
Penyidik pembantu
membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali
perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada
penuntut umum.
BAB IV PENYIDIK DAN PENUNTUT
UMUM
Bagian Ketiga Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat
dakwaan;
e. melimpahkan
perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan
penuntutan;
h. menutup
perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan
tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan
penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum
menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut
ketentuan undang-undang.
BAB V PENANGKAPAN,
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN
SURAT
Bagian Kesatu Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk
kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan
penangkapan.
(2) Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan
penangkapan.
Pasal 17
Perintah
penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan
tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia
dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal
tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan
bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang
ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
(3) Tembusan
surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Pasal 19
(1) Penangkapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
(2) Terhadap
tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia
telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu
tanpa alasan yang sah.
BAB V PENAHANAN,
PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kedua Penahanan
Pasal 20
(1) Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk
kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan.
(3) Untuk
kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan
atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau
penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan
surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
(4)Penahanan
tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan
tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal:
a.tindak pidana
itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),
Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),
Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48
Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37, TambÀhan Lembaran Negara Nomor 3086).
Pasal 22
(1) Jenis
penahanan dapat berupa:
a.penahanan rumah
tahanan negara;
b.penahanan
rumah;
c.penahanan kota.
(2) Penahanan
rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau
terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala
sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Penahanan
kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu
yang ditentukan.
(4) Masa
penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dan pidana yang
dijatuhkan.
(5) Untuk
penahanan kota pengurangan tersebut seperlima darijumlah lamanya waktu
penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu
penahanan.
Pasal 23
(1) Penyidik atau
penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu
kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pengalihan
jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari
penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan
kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang
benkepentingan.
Pasal 24
(1) Perintah
penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang
berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu
enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan
tahanan demi hukum.
Pasal 25
(1) Penintah
penahanan yang dibenikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, hanya berlaku paling lama dua pulub hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu
lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari
tahanan demi hukum.
Pasal 26
(1) Hakim
pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna
kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk
paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu
sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus
sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 27
(1) Hakim
pengadilan tinggi yang mengadii perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87,
guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimatia tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua peiigadilan
tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu
sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus
sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 28
(1) Hakim
Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna
kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama lima puluh hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling
lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu
seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus
sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.
Pasal 29
(1) Dikecualikan
dan jangka waktu penahanan sebagahnana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal
26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak
dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau
terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang
sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
(2) Perpanjangan
tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam
hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling
lama tiga puluh hari.
(3) Perpanjangan
penahanan tersebut ĂĄtas dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam tingkat:
a. penyidikan dan
penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di
pengadilan negeri diberikan oIeh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan
banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan
kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4)Penggunaan
kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan
secara bertahap dan dengan penuh tauggung jawab.
(5)Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(6)Setelah waktu
enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum
diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.
(7)Terhadap
perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam tingkat:
a.penyidikan dan
penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b.pemeriksaan
pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 30
Apabila tenggang
waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal
27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29
ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Pasal 31
(1) Atas
permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang
ditentukan.
(2) Karena
jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut
penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB V PENANGKAPAN,
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN
SURAT
Bagian Ketiga
Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan
pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
Pasal 33
(1) Dengan surat
izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat
mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2) Dalam hal
yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali
memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau
penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali
memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu
dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita
acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang
bersangkutan.
Pasal 34
(1) Dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. pada halaman
rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya;
b. pada setiap
tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di tempat
tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan tempat
umum lainnya
(2) Dalam hal
penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak
diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
kecuali benda yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang
diduga telab dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu
wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 35
Kecuali dalam hal
tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
a.ruang di mana
sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b.tempat di mana
sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
c.ruang di mana
sedang berlangsung sidang pengadilan.
Pasal 36
Dalam hal
penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut
harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari
daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.
Pasal 37
(1)Pada waktu
menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk
benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang
cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2)Pada waktu
menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau
menggeledah badan tersangka.
BAB V PENANGKAPAN, PENAHANAN,
PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Keempat Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan
hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat.
(2) Dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak
dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 39
(1)Yang dapat
dikenakan penyitaan adalah:
a.benda atau
tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan
tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;
b.benda yang
telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya;
c.benda yang
dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.benda yang
khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.benda lain yang
mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang
berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana,
sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Pasal 4O
Dalam hal
tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang
patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain
yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 41
Dalam hal
tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutavnya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang
paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal
danpadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penenimaan.
Pasal 42
(1) Penyidik
berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita,
menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat atau
tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika
surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan
kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda
tersebut merupakah alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 43
Penyitaan surat
atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeni
setempat kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 44
(1) Benda sitaan
disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan
benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada
pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal
benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan,
sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap
perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya
penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan
tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a.apabila perkara
masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual
lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan
oleh tersangka atau kuasanya;
b.apabila perkara
sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual
yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan
disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil
pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang
bukti.
(3) Guna
kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan
yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46
(1) Benda yang
dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa
benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak
apabila:
a.kepentingan
penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.perkara
tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana;
c.perkara
tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup
demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila
perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada
orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut
masih diperlukan sebagal barang bukti dalam perkara lain.
BAB V PENANGKAPAN,
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN
SURAT
Bagian Kelima Pemeriksaan Surat
Pasal 47
(1) Penyidik
berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor
pos dan teIekomunikasi, jawatan atau pcrusahaan komunikasi atau pengangkutan
jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan
perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk
itu dari ketua pengadilan negeri.
(2) Untuk
kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
(3) Hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan
pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur
dalam ayat tersebut.
Pasal 48
(1) Apabila
sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Apabila
sesudab diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor
pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik"
dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik.
(3) Penyidik dan
para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang
dikembalikan itu.
Pasal 49
(1) Penyidik
membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan
Pasal 75.
(2) Turunan
berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kaiitor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
yang bersangkutan.
BAB VI TERSANGKA DAN
TERDAKWA
Pasal 50
(1) Tersangka
berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan
kepada penuntut umum.
(2) Tersangka
berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(3) Terdakwa
berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk
rnempersiapkan pembelaan:
a. tersangka
berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai,
b. terdakwa
berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang didakwakan kepadanya
Pasal 52
Dalam pemeriksaan
pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 53
(1) Dalam
pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 177.
(2) Dalam hal
tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagainiana
dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna kepentingan
pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang
atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 55
Untuk mendapatkan
penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memiih
sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56
(1) Dalam hal
tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau
bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang
tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi
mereka.
(2) Setiap
penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57
(1) Tersangka
atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
(2) Tersangka
atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses
perkaranya.
Pasal 58
Tersangka atau
terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng hubungi dan menerima kunjungan
dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan
proses perkara maupun tidak.
Pasal 59
Tersangka atau
terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas
dirinya oleh pejabat yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka
atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau
terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60
Tersangka atau terdakwĂĄ
berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungĂĄn
kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan
jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan
hukum.
Pasal 61
Tersangka atau
terdakwa berhak secara Iangsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya
menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada
hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan
atau untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62
(1) Tersangka
atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima
surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan
olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis
menulis.
(2) Surat
menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat
rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa
surat menyurat itu disalahgunakan.
(3) Dalam hal
surat untuk tersangka atau terdakwa ditilik atau diperiksa oleh penyidik,
penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan
kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada
pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau
terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
Pasal 64
Terdakwa berhak
untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal 65
Tersangka atau
terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau seseorang
yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau
terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau
penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat.
Pasal 68
Tersangka atau
terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 95.
BAB VII BANTUAN HUKUM
Pasal 69
Penasihat hukum
berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua
tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasihat
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara
dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya.
(2) Jika terdapat
bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan
dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut
umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat
hukum.
(3) Apabila
peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh
pejabat yang tersebut pada ayat (2).
(4) Apabila
setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan
oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar
maka hubungan selanjutnya dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat
hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka
diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa
mendengar isi pembicaraan.
(2) Dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat
mendengar isi pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan
tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan
berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pernbelaannya.
Pasal 73
Penasihat hukum
berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali dikehendaki
olehnya.
Pasal 74
Pengurangan kebebasan
hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada Pasal
70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang
tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta
pihak lain dalam proses.
BAB VIII BERITA ACARA
Pasal 75
(1) Berita acara
dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a.pemeriksaan
tersangka;
b.penangkapan;
c.penahanan;
d.penggeledahan;
e.pemasukan rumah;
f.penyitaan
benda;
g.pemeriksaan
surat;
h.pemeriksaan
saksi;
l.pemeriksaan di
tempat kejadian;
j.pelaksanaan
penetapan dan putusan pengadilan;
k.pelaksanaan
tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Berita acara
dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada
ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita acara
tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalath tindakan tersebut
pada ayat (1).
BAB IX SUMPAH ATAU JANJI
Pasal 76
(1) Dalam hal
yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya
pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan
perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya
maupun mengenai tatacaranya.
(2) Apabila
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau
janji tersebut batal menurut hukum.
BAB X WEWENANG PENGADILAN
UNTUK MENGADILI
Bagian Kesatu Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri
berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang:
a.sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
b.ganti kerugian
dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 78
(1) Yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
adalah praperadilan.
(2) Praperadilan
dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79
Permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan
oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan untuk
memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat
diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 81
Permintaan ganti
kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebut alasannya.
Pasal 82
(1) Acara
pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a. dalam waktu tiga
hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari
sidang;
b. dalam
memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknyapenangkapan atau penahanan, sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian
dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang
tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka
atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;
c. perneriksaan
tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus
sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal
suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka
permintaan tersebut gugur;
e. putusan
praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan
pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika
untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim
dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal
sebagai berikut
a. dalam hal
putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka
penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus
segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal
putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak
sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal
putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam
putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang
diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal
putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat
pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
(4) Ganti
kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
dan Pasal 95.
Pasal 83
(1)Terhadap
putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80,
dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.
(2)Dikecualikan
dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan
akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
BAB X WEWENANG PENGADILAN
UNTUK MENGADILI
Bagian Kedua
BAB X WEWENANG PENGADILAN
UNTUK MENGADILI
Bagian Ketiga Pengadilan Tinggi
Pasal 87
Pengadilan tinggi
berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah
hukumnya yang dimintakan banding.
BAB X WEWENANG PENGADILAN
UNTUK MENGADILI
Bagian Keempat Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung
berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
BAB XI KONEKSITAS
Pasal 89
(1) Tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan
Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim
tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi
militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur
militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang
berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
(3) Tim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Pasal 90
(1) Untuk
menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan
dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau
jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil
penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).
(2) Pendapat dan
penelitian bersama tersebut dituangkan dalam. berita acara yang ditandatangani
oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika dalam
penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau
jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer
tinggi kepada Oditur Jenideral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 91
(1) Jika menurut
pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan
karenanya
perkara pidana
itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira
penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut
umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan
negeri yang berwenang.
(2) Apabila
menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat
sebagaimaña dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada
Menteri Pertahan dan Keamanan, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman
dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa
perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
(3) Surat keputusan
tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara dan jaksa
atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer
atau mahkamah militer tinggi.
Pasal 92
(1) Apabila
perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang
mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau
oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan
dalam Iingkungan peradilan militer.
Pasal 93
(1) Apabila dalam
penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat perbedaan
pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi,
mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis,
dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada
Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung
dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk
mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Dalam hal
terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 94
(1) Dalam hal
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer,
yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari
sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
(2) Dalam hal
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim
ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan
dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang.
(3) Dalam hal
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana
tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari
Iingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari
masing-masing lingkungan peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi
pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan
tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat
banding.
(5) Menteri
Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik mengusulkan
pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).
BAB XII GANTI KERUGIAN DAN
REHABILITASI
Bagian Kesatu Ganti Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka,
terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan.
(2) Tuntutan
ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana
dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri,
diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan
ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa,
terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan.
(4) Untuk
memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili
perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan
terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan.
Pasal 96
(1) Putusan
pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2) Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan Iengkap semua hal yang
dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
BAB XII GANTI KERUGIAN DAN
REHABILITASI
Bagian Kedua Rehabilitasi
Pasal 97
(1) Seorang
berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi
tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan
rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud
dalam Pasal 77.
BAB XIII PENGGABUNGAN
PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN
Pasal 98
(1) Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak
hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Pasal 99
(1) Apabila pihak
yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang
kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan
dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam
hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan
hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan
mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila
putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 100
(1) Apabila
teriadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat
banding.
(2) Apabila
terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Ketentuan
dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur.
Pasal 101
Ketentuan dari
aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam
undang-undang ini tidak diatur lain.
BAB XIV PENYIDIKAN
Bagian Kesatu Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik
yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal
tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana
tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan
yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat
berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
(1) Laporan atau
pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau
pengadu.
(2) Laporan atau
pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
Pasal 104
Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda
pengenalnya.
Pasal 105
Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi
petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
BAB XIV PENYIDIKAN
Bagian Kedua Penyidikan
Pasal 106
Penyidik yang
mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a
memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam
penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian
ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal
tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat
(1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum
melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap orang
yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang
merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada
penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2) Setiap orang
yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman
dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu
juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap
pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal
itu kepada penyelidik atau penyidik.
(4) Laporan atau
pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau
pengadu.
(5) Laporan atau
pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah
menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan
surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal
penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal
penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka
atau keluarganya.
(3) Dalam hal
penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera
disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal
penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang
lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik
disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut
umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan
dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik.
Pasal 111
(1) Dalam hal
tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai
wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib,
menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada
penyelidik atau penyidik.
(2) Setelah
menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik
atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka
penyidikan.
(3) Penyelidik
dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat
kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama
pemeriksaan di situ belum selesai.
(4) Pelanggar
Iarangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai.
Pasal 112
(1) Penyidik yang
melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas,
berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa
dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar
antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan
tersebut.
(2) Orang yang
dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik
memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal 113
Jika seorang
tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu
datang ke tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang
disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh
penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi
oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal
penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka penasihat hukum dapat
mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka
Pasal 116
(1) Saksi
diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Saksi
diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang
lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam
pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang
dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita
acara.
(4) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa
saksi tersebut.
Pasal 117
(1) Keterangan
tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun
dan atau dalam bentuk apapun.
(2) Dalam hal
tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik
mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan
tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh
penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal
tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam hal
tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan,
pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik
di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal 120
(1) Dalam hal
penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus.
(2) AhIi tersebut
mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi
keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia
menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 121
Penyidik atas
kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan
memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan
keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari
tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau
benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian
perkara.
Pasal 122
Dalam hal
tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu
dijalankan dan harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(I) Tersangka,
keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau
jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.
(2) Untuk itu
penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang
perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis
penahanan tertentu.
(3) Apabila dalam
waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka,
keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu
atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan
tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam
jenis tahanan tertentu.
(5) Penyidik atau
atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat
mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.
Pasal 124
DaIam hal apakah
sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau
penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat
untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri
tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.
PasaI 125
Dalam hal
penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda
pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam PasaI 33 dan Pasal 34.
Pasal 126
(1) Penyidik
membuat berita acara tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik
membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan,
kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau
keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam haI
tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu
dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya
Pasal 127
(1) Untuk
keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ini
penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak
meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal
penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya
kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 129
(1) Penyidik
memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan
disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang
akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan dengan
dua orang saksi.
(2) Penyidik
membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang
darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan
ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa
atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal
orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(4) Turunan dari
berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana
benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130
(1) Benda sitaan
sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing,
ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang
dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap
jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal
benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau
dikaitkan pada benda tersebut.
Pasal 131
(1) Dalam hal
sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat
diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya,
penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah,
memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu
menyitanya.
(2) Penyitaan
tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129 undang-undang
ini.
Pasal 132
(1) Dalam hal
diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau
diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik
dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
(2) Dalam hal
timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan
surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta
kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat
asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan
perbandingan.
(3) Dalam hal
suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak
dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 131, penyidik
dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam
surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda
penerimaan.
(4) Dalam hal
surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu daftar,
penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima
kembali yang dibagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab
salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal
surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat
permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya.
(6) Semua
pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan
sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan
keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang
dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal
sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin
lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
(2) Dalam hal
keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam
waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi
tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2)
dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang
dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian
Kedua Bab 14 ditanggung oleh negara.
BAB XV PENUNTUTAN
Pasal 137
Penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu
tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan
yang berwenang mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum
setelah menerima hasil penyidikan dan penyidik segera mempelajari dan
menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal
hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan
berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada
penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut
umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi
persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal
penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
(2) a.Dalam hal
penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat
ketetapan.
b.Isi surat
ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib
segera dibebaskan.
c.Turunan surat
ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat
hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila
kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka
Pasal 141
Penuntut umum
dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan,
apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas
perkara dalam hal:
a. beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan
tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa
tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa
tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi
yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal
penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana
yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
masing-masing terdakwa secara terpisah.
(1) Penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii
perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum
membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a.nama Iengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b.uraian secara
cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal
demi hukum.
(4) Turunan surat
pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau
kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum
dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik
dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan
surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh
hari sebelum sidang dirnulai.
(3) Dalam hal penuntut
umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau
penasihat hukum dan penyidik.
BAB XVI PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Bagian Kesatu Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan
untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan Secara sah, apabila disampaikan
dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila
tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila
terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal
terdakwa atau tempat kediaman terakhir.
(3) Dalam hal
terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui
pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan
surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orarig lain atau melalui
orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila
tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkaranya.
Pasal 146
(1) Penuntut umum
menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta
jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh
yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
(2) Penuntut umum
menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta jam
sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang
bersangkutan selambat-Iambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
BAB XVI PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Bagian Kedua Memutus Sengketa mengenai Wewenang
Mengadili
Pasal 147
Setelah
pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua
mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 148
(1) Dalam hal
ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk
wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan
negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan
negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang
memuat alasannya.
(2) Surat
pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya
kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di
tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.
(3) Turunan surat
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disarnpaikan kepada terdakwa atau
penasihat hukum dan penyidik.
Pasal 149
(1) Dalam hal
penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:
a.Ia mengajukan
perlawanan kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari
setelah penetapan tersebut diterima;
b.tidak
dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan batalnya perlawanan;
c. perlawanan
tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku daftar panitera;
d. dalam waktu
tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada
pengadilan tinggi yang bersangkutan.
(2) Pengadilan
tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima perlawanan
tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.
(3) Dalam hal
pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat
penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
menyidangkan perkara tersebut.
(4) Jika
pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang
bcrsangkutan.
(5) Tembusan
surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) disampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 150
Sengketa tentang
wewenang mengadili terjadi:
a.jika dua
pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang
sama;
b.jika dua
pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang
sama.
Pasal 151
(1) Pengadilan
tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri atau
lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
(2) Mahkamah
Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang
mengadili:
a.antara
pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan
peradilan yang lain;
b.antara dua
pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang
berlainan;
c.antara dua
pengadilan tinggi atau lebih.
BAB XVI PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Bagian Ketiga Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152
(1) Dalam hal
pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa
perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari
sidang.
(2) Hakim dalam
menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerintahkan kepada
penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang
pengadilan.
Pasal 153
(1) Pada hari
yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang.
(2) a.Hakim ketua
sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan
dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi;
b.Ia wajib
menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan
terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk
keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak.
(4) Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya
putusan demi hukum.
(5) Hakim ketua
sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun
tidak diperkenankan menghadiri sidang.
Pasal 154
(1) Hakim ketua
sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan,
ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
(2) Jika dalam
pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang
yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah
dipanggil secara sah.
(3) Jika terdakwa
dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang
berikutnya.
(4) Jika terdakwa
ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan
yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim
ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam
suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir
pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua
sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah
setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada
sidang pertama berikutnya.
(7) Panitera
mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Pasal 155
(1) Pada
permulaan sidang. hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama
Iengkap. tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaannya sertta mengingatkan terdakwa supaya
memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
(2)a.Sesudah itu
hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan;
b.Selanjutnya
hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar
mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas
permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Pasal 156
(1) Dalam hal
terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum
untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk
selanjutnya mengambil keputusan.
(2) Jika hakim
menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih
.lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal
tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang
dilanjutkan.
(3) Dalam hal
penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka Ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal
perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan
surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan
pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.
(5) a. Dalam hal
perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau
penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari
sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan
tinggi dengan keputusan membĂĄtalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan
dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang;
b.Pengadilan
tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang
berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang
bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan
negeri yang telah melimpahkan perkara itu.
(6) Apabila
pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) berkedudukan di
daerah hukum pengadilan tinggi lain maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara
tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang
berwenang di tempat itu.
(7) Hakim ketua sidang
karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah mdndengar pendapat
penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya dapat
menyatakĂĄn pengadilan tidak berwenang.
Pasal 157
(1) Seorang hakim
wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat
hubungan keluarga sedarah atau Semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami
atau isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang
hakim anggota, penuntut umum atau panitera.
(2) Hakim ketua
sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mengundurkan diri dari
menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semeñda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan
terdakwa atau dengan penasihat hukum.
(3) Jika dipenuhi
ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkan diri harus diganti dan
apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka
perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 158
Hakim dilarang
menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan
mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 159
(1) Hakim ketua
sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan
memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan
yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam hal
saksi tidĂĄk hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir,
maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke
persidangan.
Pasal 160
(1)a. Saksi
dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b.Yang
pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada
saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum
dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selamĂŁ berIangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusĂĄn, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi
tersebut.
(2) Hakim ketua
sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau
semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau
isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum
memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan
tidak lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika
pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau
berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
Pasal 161
(1) Dalam hal
saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan
terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua
sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat
belas hari.
(2) Dalam hal
tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap
tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 162
(1) Jika saksi
sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh
tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan
dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu
dibacakan.
(2) Jika
keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di
sidang.
Pasal 163
Jika keterangan
saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara,
hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acĂąra pemeriksaan sidang.
Pasal 164
(1) Setiap kali
seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(2) Penuntut umum
atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.
(3) Hakim ketua
sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat
hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya.
Pasal 165
(1) Hakim ketua
sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang
dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.
(2) Penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi.
(3) Hakim ketua
sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasannya.
(4) Hakim dan
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua
sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan
mereka masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan yang
bersifat menjerat tidak bolĂšh diajukan baik kepada terdakwa; maupun kepada
saksi
Pasal 167
(1) Setelah saksi
.memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang
memberi izin untuk meninggalkannya.
(2) Izin itu
tidak diberikĂĄn jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang.
(3) Para saksi
selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 168
Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
b. saudara dan
terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak
saudara terdakwa sampal derajat ketiga
c. suami atau
isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
Pasal 169
(1) Dalam hal
mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum
serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
(2) Tanpa
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan
memberikan keterangan tanpa sumpah.
Pasal 170
(1) Mereka yang
karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 171
Yang boleh
diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah :
a. anak yang
umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b.orang sakit
ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 172
(1) Setelah saksi
memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut
yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya
saksi lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar
keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hĂĄdirnya
saksi yang dikeluarkan tersebut.
(2) Apabila
dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang tĂšlah
didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar
keterangan saksi yang lain.
Pasal 173
Hakim ketua sidang
dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa,
untuk itu Ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu
pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa
diberitahukan semua hal pada waktu ia tidĂŁk hadir.
Pasal 174
(1) Apabila
keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh -sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya
dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi
tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas
permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu
ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal
yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang
memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan
saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim
ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk
diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
(4) Jika perlu
hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan
perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Pasal 175
Jika terdakwa
tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu
pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal 176
(1) Jika terdakwa
bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim
ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan
supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara
pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal
terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian
rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.
Pasal 177
(1) Jika terdakwa
atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang
juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua
yang harus diterjemahkan.
(2) Dalam hal
seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara Ia tidak boleh pula
menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Pasal 178
(1) Jika terdakwa
atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang
mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau
saksi itu.
(2) Jika terdakwa
atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang
menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada
terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan
selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan
Pasal 179
(1) Setiap orang
yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan atau dokter atau
ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua
ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 180
(1) Dalam hal
diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta
agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal
timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan
agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim karena
jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana
tersebut pada ayat (2).
(4) Penelitian
ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai
wewenang untuk itu.
Pasal 181
(1) Hakim ketua
sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan
kepadañya apakah Ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.
(2) Jika perlu
benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.
(3) Apabila
dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan
selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 182
(1) a.Setelah
pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana;
b.Selanjutnya
terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab
oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu
mendapat giliran terakhir.
c.Tuntutan,
pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah
dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada
pihak yang berkepentingan.
(2) Jika acara
tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi,
baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.
(3) Sesudah itu
hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila
perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut
umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.
(4) Musyawarah
tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(5) Dalam
musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari
hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir
mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus
disertai pertimbangan beserta alasannya.
(6) Pada asasnya
putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali
jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai,
maka berlaku ketentuan sebagai berikut
a.putusan diambil
dengan suara terbanyak;
b.jika ketentuan
tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah
pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
(7) Pelaksanaan
pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku
himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku
tersebut sifatnya rahasia.
(8) Putusan
pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada
hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukum.
BAB XVI PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Dalam Acara
Pemeriksaan Biasa
Pasal 183
Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
(1) Alat bukti
yang sah ialah:
a.keterangan
saksi;
b.keterangan
ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan
terdakwa.
(2) Hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185
(1) Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat
maupun rekĂ an, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi.
(6) Dalam menilai
kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan
a. persesuaian
antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b .persesuaian
antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang
mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan
kesusilaĂĄn saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi
dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan
dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak
merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang
lain.
Pasal 186
Keterangan ahli
ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 187
Surat sebagaimana
tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.berita acara
dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.surat yang dibuat
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c.surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d.surat lain yang
hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
Pasal 188
(1) Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari ;
a.keterangan
saksi;
b. surat;
c.keterangan
terdakwa.
(3) Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 189
(1) Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti
yang lain.
Pasal 190
a. Selama
pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.
b. Dalam hal
terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya
untuk membebaskan terdakwaa jika terdapat alasan cukup untuk itu dengan
mengingat ketentuan Pasal 30.
Pasal 191
(1) Jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas.
(2) Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
(3) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena
ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan.
Pasal 192
(1) Perintah
untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat
(3) segera
dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan.
(2) Laporan
tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat
penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan
selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.
Pasal 193
(1) Jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
(2) a.Pengadilan
dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan
supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dasi
terdapat alasan cukup untuk itu.
b.Dalam hal
terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan
terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan
cukup untuk itu.
Pasal 194
(1) Dalam hal
putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan
menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling
berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
(2) Kecuali
apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah
penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali
dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 195
Semua putusan
pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan
memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini
menentukan lain.
(2) Dalam hal
terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3) Segera
sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib
memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a. hak segera
menerima atau. segera menolak putusan;
b. hak
mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c. hak minta
menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak minta diperiksa
perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang ini, dalam hal Ia menolak putusan;
e. hak mencabut
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini.
Pasal 197
(1)Surat putusan
pemidanaan memuat:
a.kepala putusan
yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA";
b. nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan,
sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan
yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian
yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa,
e. tuntutan
pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan
tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh
hakim tunggal;
h. pernyataan
kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak
pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang
dijatuhkan;
i. ketentuan
kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti
dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan
bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan
itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah
supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.hari dan
tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I
pasal inii mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan
dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 198
(1) Dalam hal
seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan atau
pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang
berhalangan tersebut.
(2) Dalam hal
penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila pengganti ternyata
tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus.
Pasal 199
(1) Surat putusan
bukan pemidanaan memuat :
a. ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;
b. pernyataan
bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan
menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
putusan;
c. perintah
supaya terdakwa segera dibebaskan jika Ia ditahan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi
pasal ini.
Pasal 200
Surat putusan
ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
Pasal 201
(1) Dalam hal
terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan putusan
yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan
tersebut diberi catatan dengan menunjuk pada petikan putusan itu.
(2) Tidak akan
diberikan.salinan pertama atau salinan dari surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan putusan.
Pasal 202
(1) Panitera
membuat berita acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan
dan memuat segala kejadan di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu.
(2) Berita acara
sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting dari
keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan
bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan
dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan lainnya.
(3) Atas
permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua sidang
wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang
suatu keadaan atau keterangan.
(4) Berita acara
sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali apabila
salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita
acara tersebut.
BAB XVI PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Bagian Kelima Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 203
(I) Yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut
umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
(2) Dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan terdakwa
beserta saksi, ahli, juru babasa dan barang bukti yang diperlukan.
(3) Dalam acara
ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab
ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini:
a. 1. penuntut
umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala pertanyaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari
catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya
dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu
dilakukan; 2.pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan
pengganti surat dakwaan;
b. dalam hal
hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan
tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu
tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan,
maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara
biasa;
c. guna
kepentingan. pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum,
hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari;
d. putusan tidak
dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang;
e. hakim
memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f. isi surat
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam
acara biasa.
Pasal 204
Jika dari
pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa de.ngan acara singkat
ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan acara
cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan
tersebut.
BAB XVI PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Bagian Keenam Acara Pemeriksaan Cepat Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Pasal 205
(1) Yang
diperiksa rnenurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan
kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.
(2) Dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam
waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan
terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang
pengadilan.
(3) Dalam acara
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan
hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal 206
Pengadilan
menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara
pemeriksaan tindak pidana ringan.
Pasal 207
(I) a. Penyidik
memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggaI, jam dan
tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan
baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.
b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus
segera disidangkan pada hari sidang itu juga.
(2) a.Hakim yang
bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua perkara
yang diterimanya. b. Dalam buku register dimuat nama Iengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 208
Saksi dalam acara
pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali
hakim menganggap perlu.
Pasal 209
(1) Putusan
dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan seIanjutnya oleh panitera
dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan
dan panitera.
(2) Berita acara
pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut
ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat
oleh penyidik.
Pasal 210
Ketentuan dalam
Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang
peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini. Paragraf 2 Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Pasal 211
Yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu
terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.
Pasal 212
Untuk perkara
pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh
karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera
diserahkan kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang
pertama berikutnya.
Pasal 213
Terdakwa dapat
menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.
Pasal 214
(I) Jika terdakwa
atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
(2) Dalam hal
putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera
disampaikan kepada terpidana.
(3) Bukti bahwa
surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan
kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
(4) Dalam hal
putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana
perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan
(5) Dalam waktu
tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(6) Dengan
perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.
(7) Setelah
panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim menetapkan
hari sidang untuk memeriksa kembali perkara.
(8) Jika putusan
setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 215
Pengembalian
benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah
putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.
Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal
210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf
ini.
BAB XVI PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN
Bagian Ketujuh Pelbagai Ketentuan
Pasal 217
(1) Hakim ketua
sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.
(2)Segala sesuatu
yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di
persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.
Pasal 218
(1) Dalam ruang
sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
(2)Siapa pun yang
di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak
mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas
perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang.
(3) Dalam hal pelanggaran
tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana,
tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
Pasal 219
(1) Siapa pun
dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun
benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib
menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Tanpa surat
perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan
penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang sidang
tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan
untuk menitipkannya.
(3). Apabila yang
bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang, maka petugas wajib
menyerahkan kembali benda titipannya.
(4) Ketentuan
ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan
bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak
pidana.
Pasal 220
(1) Tiada seorang
hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan,
baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan, wajib mengundurkan
diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukumnya.
(3) Apabila ada
keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), maka pejabat pengadilan yang berwenang yang menetapkannya.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di atas berlaku juga bagi
penuntut umum.
Pasal 221
Bila dipandang
perlu hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa
atau penasihat hukumnya dapat memberi penjelasan tentang hukum yang berlaku.
Pasal 222
(l) Siapa pun
yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.
(2) Dalam hal
terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran
biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya
perkara dibebankan pada negara.
Pasal 223
(1) Jika hakim
memberi perintah kepada seorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar
sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang
lain.
(2) Dalam hal
sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim menunjuk
panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat
berita acaranya.
Pasal 224
Semua surat
putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang mengadili perkara itu
pada tingkat pertama dan tidak boleh dipindahkan kecuali undang-undang
nienentukan lain.
Pasal 225
(1) Panitera menyelenggarakan
buku daftar untuk semua perkara.
(2) Dalam buku
daftar itu dicatat nama dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan,
tanggal penerimaan perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan apabila ia ada dalam
tahanan, tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan permintaan
dan putusan banding atau kasasi, tanggal permohonan serta pemberian grasi,
amnesti, abolisi atau rehabilitasi, dan lain hal yang erat hubungannya dengan
proses perkara.
Pasal 226
(1) Petikan surat
putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera
setelah putusan diucapkan.
(2) Salinan surat
putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan.
(3) Salinan surat
putusan pengadilan hanya boleh diberikan kepada orang lain dengan seizin ketua
pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dan permintaan tersebut.
Pasal 227
(1) Semua jenis
pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat
pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya
tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau
di tempat kediaman mereka terakhir.
(2) Petugas yang
melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung
dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima
oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh
petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak
menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya.
(3) Dalam hal
orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu termpat sebagaimana dirnaksud
dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat
dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana
orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil
disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor
pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut.
Pasal 228
Jangka atau
tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari
berikutnya.
Pasal 229
(1) Saksi atau
ahli yang teIah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di
semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang
melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang
haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 230
(1) Sidang
pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang.
(2) Dalam ruang
sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian
sidang dan atribut masing-masing.
(3) Ruang sidang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan sebagai berikut:
a. tempat meja
dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa,
penasihat hukum dan pengunjung;
b. tempat
panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;
c. tempat
penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;
d. tempat
terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan
tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi
pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;
f. tempat saksi
atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;
g. tempat
pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;
h. bendera
Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji Pengayoman ditempatkan
di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang Negara ditempatkan pada dinding
bagian atas di belakang meja hakim;
i. tempat
rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
j tempat
sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi tanda pengenal;
k. tempat petugas
keamanan dibagian pintu masuk utama ruang sidang dan ditempat lain yang
dianggap perlu.
(4) Apabila
sidang pengadilan dilangsungkan diluar gedung pengadilan, maka tata tempat
sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut diatas.
(5) Dalam hal
ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera
nasional harus ada.
Pasal 231
(1) Jenis, bentuk
dan warna pakaian sidang serta atribut yang berhubungan dengan perangkat
kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan peraturan pemerintah.
(2) Pengaturan
lebih lanjut tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 217
ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 232
(1) Sebelum
sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang
sudah ada, duduk ditempatnya masing-masing dalam ruang sidang.
(2) Pada saat
hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk
menghormat.
(3) Selama sidang
berlangsung setiap orang yang keluar masuk ruang sidang diwajibkan memberi
hormat.
BAB XVII UPAYA HUKUM BIASA
Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 233
(1) Permintaan
banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi
oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.
(2) Hanya
permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh
panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan
atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2).
(3) Tentang
permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani
olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal
pemohon tidak dapat rnenghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan
disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta
juga ditulis dalam daftar perkara pidana.
(5) Dalam hal
pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh penuntut
umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.
Pasal 234
(1) Apabila
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat tanpa
diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap menenima putusan.
(2) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera mencatat dan membuat akta
mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 234
(1) Selama
perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat
dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam
perkara itu tidak boleh diajukan lagi.
(2) Apabila
perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat
pencabutannya.
Pasal 236
(1)
Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permintaan banding
diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri dan berkas
perkara serta surat bukti kepada pengadilan tinggi.
(2) Selama tujuh
hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon
banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di
pengadilan negeri.
(3) Dalam hal
pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan
mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi
kesempatan untuk itu secepatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh
pengadilan tinggi,
(4) Kepada setiap
pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti keaslian
berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan tinggi.
Pasal 237
Selama pengadilan
tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa
atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau kontra
memori banding kepada pengadilan tinggi.
Pasal 238
(1) Pemeriksaan
dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima
dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dan penyidik,
berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan negeri, beserta semua surat yang
timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan pengadilan
negeri.
(2) Wewenang untuk
menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya
permintaan banding.
(3) Dalam waktu
tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri,
pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu
tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas
permintaan terdakwa.
(4) Jika
dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau
saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
PasaI 239
(1) Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat banding.
(2) Hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan atau panitera tingkat banding, dengan hakim atau panitera tingkat
pertama yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang
hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama kemudian tekah menjadi hakim
pada pengadilan tinggi, maka hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang
sama dalam tingkat banding.
Pasal 240
(1) Jika
pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata
ada kelalaian dalam pénerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang
lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan
pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya
sendiri.
(2) Jika perlu
pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan dari pengadilan
negeri sebelum putusan pengadilan tinggi dijatuhkan.
Pasal 241
(1) Setelah semua
hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan
dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam
hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan
sendiri.
(2) Dalam hal
pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan negeri karena ia tidak
berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal
148.
Pasal 242
Jika dalam
pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka
pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap
ditahan atau dibebaskan.
Pasal 243
(1) Salinan surat
putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari setelah
putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus pada
tingkat pertama.
(2) Isi surat
putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada
terdakwa dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan selanjutnya
pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan surat putusan pengadilan tinggi.
(3) Ketentuan
mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 berlaku
juga bagi putusan pengadilan tinggi.
(4) Dalam hal
terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut,
panitera minta bantuan kepada panitera pengadilan negeri yang dalam daerah
hukumnya terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi surat putusan itu
kepadanya.
(5) Dalam hal
terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar
negeri, maka isi surat putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan
melalui kepala desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia, di
mana terdakwa biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan,
terdakwa dipanggil dua kali berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang
terbit dalam daerah hukum pengadilan negeri itu sendiri atau daerah yang
berdekatan dengan daerah itu.
BAB XVI UPAYA HUKUM BIASA
Bagian
Kedua Pemeriksaan Untuk Kasasi
Pasal 244
Terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas.
Pasal 245
(1) Permohonan
kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus
perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.
(2) Permintaan
tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang
dilampirkan pada berkas perkara.
(3) Dalam hal
pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut
umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.
Pasal 246
(1) Apabila
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa
diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan.
(2) Apabila dalam
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). pemohon terlambat
mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur.
(3) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera mencatat dan
membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas
perkara.
Pasal 247
(1) Selama
perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi
dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi
dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
(2) Jika
pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas
tersebut tidak jadi dikirimkan.
(3) Apabila
perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara
itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.
(4) Permohonan
kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 248
(1) Pemohon
kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya
dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus
sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda
terima.
(2) Dalam hal
pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu
menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia Pengajukan
permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya.
(3) Alasan yang
tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253
ayat (1) undang-undang ini.
(4) Apabila dalam
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat
menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
(5) Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4) pasal
ini.
(6) Tembusan
memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan
kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi.
(7) Dalam
tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan
tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori
kasasi.
Pasal 249
(1) Dalam hal
salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam
memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikati kesempatan untuk
mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
248 ayat (1).
(2) Tambahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserahkan kepada panitera
pengadilan.
(3)
Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah tenggang waktu tersebut
dalam ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera
pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 250
(1) Setelah
panitera pengadilan negeri menerima memori dan atau kontra memori sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4), Ia wajib segera mengirim berkas
perkara kepada Mahkamah Agung.
(2) Setelah
panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut ia seketika
mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara dan pada kartu
penunjuk.
(3) Buku register
perkara tersebut pada ayat (2) wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani
oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga
karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam hal
Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka penandatanganan dilakukan oleh WakiI
Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya berhalangan maka dengan surat keputusan
Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam jabatan.
(5) Selanjutnya
panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang aslinya
dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang bersangkutan, sedangkan
kepada para pihak dikirimkan tembusannya.
Pasal 251
(1) Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 157 berlaku juga bagi perneriksaan perkara dalam
tingkat kasasi.
(2) Hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera tingkat
banding serta tingkat pertama. yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang
hakim yang mengadili perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding,
kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang
bertindak sebagai hakim atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat
kasasi.
Pasal 252
(1) Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Apabila ada
keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal Sebagaimana tersebut pada ayat
(1), maka dalam tingkat kasasi:
a. Ketua Mahkamah
Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut
Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu panitia
yang terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota yang
seorang diantaranya harus hakim anggota yang tertua dalam jabatan.
Pasal 253
(1) Pemeriksaan
dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan
a. apakah benar
suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya;
b. apakah benar
cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakab benar
pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
(2) Pemeriksaan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga
orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari
pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik,
berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang
berhubungan dengan perkara itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan
atau tingkat terakhir.
(3) Jika
dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat
(1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau
penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada
mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula
memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar
keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
(4) Wewenang
untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya
permohonan kasasi.
(5) a. Dalam
waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) Mahkamah Agung Wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa
perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas
permintaan terdakwa.
b. Dalam hal
terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas hari, sejak penetapan
penahanan Mahkarnah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.
Pasal 254
Dalam hal
Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246 dan Pasal 247, mengenai
hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan
kasasi.
Pasal 255
(1) Dalam hal
suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut.
(2) Dalam hal
suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar
pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai
bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat
menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam hal
suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak
berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau
hakim lain mengadili perkara tersebut.
Pasal 266
Jika Mahkamah
Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254,
Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam
hal itu berlaku ketentuan Pasal 255.
Pasal 257
Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku juga bagi putusan
kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan
putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada tingkat
pertama dalam waktu tujuh hari.
Pasal 258
Ketentuan
sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampal dengan Pasal 257 berlaku bagi acara
permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
BAB XVIII UPAYA HUKUM LUAR
BIASA
Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi
Kepentingan Hukum
Pasal 259
(1) Demi
kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu
kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
(2) Putusan
kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 260
(1) Permohonan
kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung
kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara
dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2) Salinan
risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera disampaikan
kepada pihak yang berkepentingan.
(3) Ketua
pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah
Agung.
Pasal 261
(1) Salinan
putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada
Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas
perkara.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga dalam
hal ini.
Pasal 262
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260, dan Pasal 261 berlaku bagi
acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
BAB XVIII UPAYA HUKUM LUAR
BIASA
Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 263
(1) Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan
peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam
pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi
hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar
alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan
telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 264
(1) Permintaan
peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1)
diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat
pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan
peninjauan kembali.
(3) Permintaan
peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(4) Dalam hal
pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum,
panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan
apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera
membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
(5) Ketua
pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta
berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
(1) Ketua
pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula
yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan
peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
263 ayat (2).
(2) Dalam
pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir
dan dapat menyampaikan pendapatnya.
(3) Atas
pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh
hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat
berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
(4) Ketua pengadilan
segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara
semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah
Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
(5) Dalam hal
suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan
banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita
acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan
banding yang bersangkutan.
Pasal 266
(1) Dalam hal
permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut
pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan
kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya
(2) Dalam hal
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima
untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila
Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak
permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila
Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan
yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat
berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas
dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak
dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
(3) Pidana yang
dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang
telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 267
(1) Salinan
putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya
dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada
pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 268
(1) Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan
pelaksanaan dari putusan tersebut.
(2) Apabila suatu
permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara
itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan
kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
(3) Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
PasaI 269
Ketentuan
sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara
permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
BAB XIX PELAKSANAAN PUTUSAN
PENGADILAN
Pasal 270
Pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh
jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya.
Pasal 271
Dalam hal pidana
mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan
undang-undang.
Pasal 272
Jika terpidana
dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis
sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu
dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
Pasal 273
(1) Jika putusan
pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu
satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara
pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal
terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat
diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(3) Jika putusan
pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain
pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda
tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual
lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
(4) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama satu
bulan.
Pasal 274
Dalam hal
pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara putusan perdata.
Pasal 275
Apabila lebih
dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 274 dibebankan kepada mereka
bersama-sama secara berimbang.
Pasal 276
Dalam hal
pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan
undang-undang.
BAB XX PENGAWASAN DAN
PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 277
(1) Pada setiap
pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam
melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang
menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
(2) Hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat,
ditunjuk oleh ketua petigadilan untuk paling lama dua tahun.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan
tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani
olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register
pengawasan dan pengamatan.
Pasal 279
Register
pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal 278 wajib dikerjakan,
ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk
diketahui ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
Pasal 280
(1) Hakim
pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa
.putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(2) Hakim
pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi
ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku
narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal-balik
terhadap narapidana selama menjalani pidananya.
(3) Pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana
selesai menjalani pidananya.
(4) Pengawas dan
pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku pula bagi pemidanaan
bersyarat.
Pasal 281
Atas permintaan
hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan
informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana
tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.
PasaI 282
Jika dipandang
perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat
membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan
narapidana tertentu.
Pasal 283
Hasil pengawasan
dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua
pengadilan secara berkala.
BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 284
(1) Terhadap
perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin
diberlakukan ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini
diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang undang
ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau
dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB XXII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 285
Undang-undang ini
disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 286
Undang-undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta pada tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di
Jakarta pada tanggal 31 Desember 1981 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO,SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 76
0 komentar:
Posting Komentar